resume ips
A. Pengertian IPS
Istilah ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan nama mata pelajaran ditingkat sekolah atau nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah “social studies” dalam kurikulum persekolahan di negara lain, khususnya di negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat.
Namun pengertian IPS di tingkat persekolahan itu sendiri mempunyai perbedaan makna khususnya antara IPS di sekolah Dasar (SD) dengan IPS untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan IPS untuk sekolah menengah atas (SMA). Pengertian IPS di sekolah tersebut ada yang berarti program pengajaran, ada yang berarti mata pelajaran yang berdiri sendiri, ada yang berarti gabungan (paduan) dari sejumlah mata pelajaran atau disiplin ilmu. Perbedaan ini dapat pula diidentifikasi dari pendekatan yang diterapkan pada masing-masing jenjang persekolahan tersebut.
Pengertian IPS merujuk pada kajian yang memusatkan perhatiannya pada aktifitas kehidupan manusia. Berbagai dimensi manusia dalam kehidupan sosialnya merupakan fokus kajian dari IPS. Aktivitas manusia dilihat dari dimensi waktu yang meliputi masa lalu, sekarang dan masa depan. Aktivitas manusia yang berkaitan dalam hubungan dan interaksinya dengan aspek keruangan atau geografis. Aktivitas manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya dalam dimensi arus produksi, distribusi dan konsumsi. Selain itu dikaji pula bagaimana manusia membentuk seperangkat peraturan sosial dalam menjaga pola interaksi sosial antar manusia dan bagaimana cara manusia memperoleh dan mempertahankan suatu kekuasaan. Pada intinya, fokus kajian IPS adalah berbagai aktivitas manusia dalam berbagai dimensi kehidupan sosial sesuai dengan karakteristik manusia sebagai makhluk sosial. (Sapriya, 2006)
Terdapat perbedaan yang esensial antara IPS sebagai ilmu-ilmu sosial (social sciences) dengan pendidikan IPS sebagai social studies. Jika IPS lebih dipusatkan pada pengkajian ilmu murni dari berbagai bidang yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) atau dalam kata lain IPS adalah sebagai wujudnya. Setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu sosial berusaha untuk mengembangkan kajiannya sesuai dengan alur keilmuannya dan menumbuhkan “body of knowledge”.
B. Tujuan Dan Karakteristik Pembelajaran IPS
Tujuan pendidikan IPS dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa pendidikan IPS merupakan suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu pendidikan IPS harus mengacu pada tujuan Pendidikan Nasional. Dengan demikian tujuan pendidikan IPS adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih tinggi.
Ada tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan pendidikan IPS, yaitu aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Pengembangan kemampuan intelektual lebih didasarkan pada pengembangan disiplin ilmu itu sendiri serta pengembangan akademik dan thinking skill. Tujuan intelektual berupaya untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami disiplin ilmu sosial., kemampuan berpikir, kemampuan prosesual dalam mencari informasi dan mengkomunikasikan hasil temuan. Pengembangan kehidupan sosial berkaitan dengan pengembangan kemampuan dan tanggung jawab siswa sebagai anggota masyarakat. Tujuan ini mengembangkan kemampuan sepeti berkomunikasi, rasa tanggung jawab sebagai warga negara dan warga dunia, kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan bangsa. Termasuk dalam tujuan ini adalah pengembangan pemahaman dan sikap positif siswa terhadap nilai, norma dan moral yang berlaku dalam masyarakat. (Sundawa, 2006)
Fokus utama dari program IPS adalah membentuk iindividu-individu yang memahami kehidupan sosialnya-dunia manusia, aktivitas dan interaksinya yang ditujukan untuk menghasilkan anggota masyarakat yang bebas, yang mempunyai rasa tanggung jawab untuk melestarikan, malanjutkan dan memperluas nilai-nilai dan ide-ide masyarakat bagi generasi masa depan.
Ada 3 kajian utama berkenaan dengan dimensi tujuan pembelajaran IPS di SD, yaitu:
Pengembangan Kemampuan Berpikir Siswa
Pengembangan kemampuan intelektual adalah pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir tentang ilmu-ilmu sosial dan masalah-masalah kemasyarakatan. Udin S. Winataputra (1996) mengemukakan bahwa dimensi intelektual merujuk pada ranah kognitif terutama yang berkenaan dengan proses berpikir atau pembelajaran yang menyangkut proses kognitif bertaraf tinggi dari mulai kemampuan pemahaman sampai evaluasi. S. Hamid Hasan (1998) menambahkan bahwa pada proses berpikir mencakup pula kemampuan dalam mencari informasi, mengolah informasi dan mengkomunikasikan temuan.
Pengembangan Nilai dan Etika Sosial
S. Hamid Hasan (1996) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang menjadi kriteria suatu tindakan, pendapat atau hasil kerja itu bagus/ positif atau tidak bagus/ negatif. Franz Von Magnis (1985) menyatakan bahwa etika adalah penyelidikan filsafat tentang bidang moral, ialah bidang yang mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk.
Pengembangan Tanggung Jawab dan Partisipasi Sosial
Dimensi yang ketiga dalam pembelajaran IPS adalah mengembangkan tanggung jawab dan partisipasi sosial yakni yang mengembangkan tujuan IPS dalam membentuk warga negara yang baik, ialah warga negara yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD harus memperhatikan kebutuhan anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget (1963) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan kongkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (kongkrit), dan bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (abstrak). Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity), arah mata angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan, atau kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan teori pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
Pengalaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya. (Budiningsih, 2005)
C. Kriteria Pembelajaran yang Efektif
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari cara pendidik mengajar dan peserta didik belajar, sebab baik tidaknya hasil proses pembelajaran dapat dilihat dan dirasakan oleh pendidik dan peserta didik sendiri. Proses belajar mengajar yang dikatakan berhasil apabila ada perubahan pada diri peserta didik. Perubahan perilaku ini menyangkut pengetahuan, sikap dan keterampilan. Juga didalam proses pembelajaran peserta didik harus menunjukan kegairahan belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar dan percaya pada diri sendiri. Untuk memperoleh hasil seperti yang telah dikemukakan diatas, salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas belajar.
Untuk kegiatan proses pembelajaran yang efektif dan memperoleh hasil yang memuaskan, pendidik dan peserta didik perlu menggunakan cara-cara belajar yang efektif pula. Sebenarnya banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh keefektifan dalam proses pembelajaran, yaitu mulai dari memberikan informasi dan penjelasan, memberikan tugas, praktek di laboratorium sampai dengan praktek di lapangan. Namun apakah semua kegiatan itu efektif dilaksanakan oleh peserta didik dan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa mengetahui pembelajaran yang baik. (Rukmana, 2006)
Untuk memahami konsep belajar secara utuh perlu digali lebih dulu bagaimana para pakar psikologi dan pakar pendidikan mengartikan konsep belajar. Pandangan kedua kelompok pakar tersebut sangat penting karena perilaku belajar merupakan ontologi atau bidang telaah dari kedua bidang keilmuan itu. Pakar psikologi melihat perilaku belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan secara alami, sedangkan pakar pendidikan melihat perilaku belajar sebagai proses psikologis-pedagogis yang ditandai dengan adanya interaksi individu dengan lingkungan belajar yang sengaja diciptakan.
Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh Bell Gledler (1986;1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skill, dan attitudes. Kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan informal, keturutsertaannya dalam pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal. Kemampuan belajar inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Belajar sebagai proses manusiawi memiliki kedudukan dan peran penting, baik dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern. Pentingnya proses belajar dapat dipahami dari traditional/local wisdom, filsafat, temuan penelitian dan teori tentang belajar. Traditional/local wisdom adalah ungkapan verbal dalam bentuk frasa, peribahasa, adagium, maksim, kata mutiara, petatah-petitih atau puisi yang mengandung makna eksplisit atau tentang pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh : Iqra bismirobbika ladzi kholaq (Bacalah alam semesta ini dengan nama Tuhanmu); Belajarlah sampai ke negeri China sekalipun (Belajarlah tentang apa saja, dari siapa saja dan dimana saja); Bend the willow when it is young (Didiklah anak selagi masih muda); Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian (Belajar lebih dahulu nanti akan dapat menikmati hasilnya).
Dalam pandangan yang lebih komprehensif konsep belajar dapat digali dari berbagai sumber seperti filsafat, penelitian empiris, dan teori. Para ahli filsafat telah mengembangkan konsep belajar secara sistematis atas dasar pertimbangan nalar dan logis tentang realita kebenaran, kebajikan dan keindahan. Plato, dalam Bell-Gredler (1986: 14-16) melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang ada dalam diri manusia dan dibawa lahir. Sementara itu Aristoteles melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang ada dalam dunia fisik bukan dalam pikiran. Kedua kutub pandangan filosofis tersebut berimplikasi pada pandangan tentang belajar. Bagi penganut filsafat idealisme hakikat realita terdapat dalam pikiran, sumber pengetahuan adalah ide dalam diri manusia, dan proses belajar adalah pengembangan ide yang telah ada dalam pikiran. Sedang penganut realisme, realita terdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuan adalah pengetahuan sensori, dan belajar merupakan kontak atau interaksi individu dengan lingkungan fisik. (Winataputra U. S., 2008)
D. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bantuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami, dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran.
Guru menempati posisi kunci dan strategis dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa agar dapat mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai diseminator, informator, transmitter, transformator, organizer, fasilitator, motivator dan evaluator bagi terciptanya proses pembelajaran siswa yang dinamis dan inovatif.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses sebab akibat. Guru sebagai pengajar merupakan penyebab utama terjadinya proses pembelajaran siswa, meskipun tidak semua perbuatan belajar siswa merupakan akibat guru yang mengajar. Oleh sebab itu guru sebagai figur sentral, harus mampu menetapkan strategi pembelajaran yang tepat sehingga dapat mendorong terjadinya perbuatan belajar siswa yang aktif, produktif, dan efisien.
Siswa sebagai peserta didik merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran. Keberhasilan pencapaian tujuan banyak tergantung kepada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan siswa. Cara belajar ini dapat dilakukan dalam bentuk kelompok (klasikal) ataupun perorangan (individual). Oleh karena itu, guru dalam mengajar harus memperhatikan kesiapan, tingkat kematangan, dan cara belajar siswa.
Tujuan pembelajaran merupakan rumusan perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar tampak pada diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang telah dilakukan. Menurut Bloom, dkk; tujuan pembelajaran dapat dipilah menjadi tujuan yang bersifat kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Derajat pencapaian tujuan pembelajaran ini merupakan indikator kualitas pencapaian tujuan dan hasil perbuatan belajar siswa. (Hernawan, 2008)
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan nasional konsep belajar harus diletakkan secara substantif-psikologis terkait pada seluruh esensi tujuan pendidikan nasional mulai dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, konsep belajar dalam konteks tujuan pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar untuk menjadi orang yang : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Karena pendidikan memiliki misi psiko pedagogic dan sosio pedagogic maka pengembangan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan mengenai keberagaman dalam konteks beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keberagaman dalam konteks berakhlak mulia; ketahanan jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran dan kejujuran akademis dalam konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam konteks kreatif, ketekunan dan percaya diri dalam konteks mandiri; dan kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam konteks warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seyogianya dilakukan dalam rangka pengembangan kemampuan belajar peserta didik.
Belajar sering juga diartikan sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Secara konseptual Fontana (1981), mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. (Winataputra U. S., 2008)
Pada dasarnya pendidikan adalah proses transformasi atau proses perubahan tingkah laku (change of behavior) peserta didik. Perubahan tingkah laku yang dimaksud bukan sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah lakunya, tetapi diharapkan terjadi perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan tingkah laku menuju kepada derajat kemapanan tertentu. Artinya, dalam garapan pendidikan akan terjadi proses perubahan tingkah laku menuju kepada kedewasaan (maturity).
Pendidikan merupakan proses yang berdimensi luas, yaitu dari sisi peserta didik, sebagai pelaku yang belajar dan dari sisi pendidik/guru sebagai pelaku yang mengajar atau membelajarkan. Hubungan pendidik dan peserta didik adalah hubungan fungsional, dalam arti pelaku pendidik dan pelaku terdidik. Dari segi tujuan yang akan dicapai, baik pendidik maupun peserta didik memiliki tujuan tersendiri. Meskipun demikian, tujuan pendidik dan tujuan peserta didik dapat dipersatukan dengan tujuan instruksional. (Wahyudin, 2007)
E. Sumber pembelajaran IPS
1. Media Sebagai Sumber Pembelajaran
Pada dasarnya siswa memiliki minat (sense of interest) dan dorongan ingin melihat kenyataan (sense of reality). Mengingat materi pembelajaran IPS lebih banyak memuat informasi maka upaya mengembangkan kedua potensi siswa tersebut, guru dituntut memiliki kreativitas dalam mengaktualisasikan kompetensinya terutama untuk mengidentifikasi, menyeleksi dan menentukan sumber pembelajaran yang menunjang kegiatan belajar mengajar.
Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan peran guru sebagai mediator dan fasilitator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang media, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan serta mengusahakan media dengan baik. Memilih dan menggunakan media harus sesuai dengan tujuan, materi, metode, evaluasi dan yang lebih utama dapat memperlancar pencapaian tujuan serta menarik minat siswa. Sebagai mediator, guru pun menjadi perantara siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan sehingga guru pun dituntut untuk memiliki keterampilan tentang komunikasi dan berinteraksi. Sehingga siswa dikembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Kelas Sebagai Sumber Belajar
Pada dasarnya pengelolaan kelas merupakan suatu rentetan kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan suasana kelas yang efektif bagi terselenggaranya kegiatan belajar mengajar, yang keberhasilannya akan bergantung kepada : tujuan pembelajaran, penggunaan waktu, pengaturan ruang dan sarana belajar serta pengaturan kegiatan belajar siswa.
Dalam hal ini, guru berperan sebagai pengelola kelas (learning manager) hendaknya memiliki kemampuan untuk mengelola kelas sebagai lingkungan belajar yang menyenangkan bagi siswa. Kelas sebagai sumber pembelajaran tidak terbatas pada pemeliharaan dan penciptaan suasana belajar yang efektif, melainkan juga dapat dijadikan sebagai tempat pameran hasil karya siswa. Kelas yang memiliki pajangan atau pameran hasil karya siswa dapat menjadi tempat yang menarik dan dapat memotivasi siswa untuk belajar. Melihat adalah bagian dari kegiatan belajar. Para siswa belajar melalui kegiatan mendengar, melihat, meraba, mencium dan berbuat. Hasil karya siswa yang baik akan mendorong para siswa untuk menggunakan panca indera penglihatannya untuk belajar dengan membaca dan memanfaatkan hasil karya siswa tersebut.
3. Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan monoton. Terdapat empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan, yaitu: masyarakat, lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah dan peristiwa alam dan sosial. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran mendorong siswa untuk berpikir logis, sisitematis dan logis, karena dari lingkungan muncul berbagai fenomena yang menarik dan menantang bagi siswa, oleh karena itu guru dituntut memiliki keterampilan ke dalam kelas dan atau membawa siswa ke luar kelas. (Winataputra U. S., yang dapat ditempuh untuk memperoleh keefektifan dalam proses pembelajaran, yaitu mulai dari memberikan informasi dan penjelasan, memberikan tugas, praktek di laboratorium sampai dengan praktek di lapangan. Namun apakah semua kegiatan itu efektif dilaksanakan oleh peserta didik dan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa mengetahui pembelajaran yang baik. (Rukmana, 2006)
Untuk memahami konsep belajar secara utuh perlu digali lebih dulu bagaimana para pakar psikologi dan pakar pendidikan mengartikan konsep belajar. Pandangan kedua kelompok pakar tersebut sangat penting karena perilaku belajar merupakan ontologi atau bidang telaah dari kedua bidang keilmuan itu.
D. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bantuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami, dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran.
Guru menempati posisi kunci dan strategis dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa agar dapat mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai diseminator, informator, transmitter, transformator, organizer, fasilitator, motivator dan evaluator bagi terciptanya proses pembelajaran siswa yang dinamis dan inovatif.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses sebab akibat. Guru sebagai pengajar merupakan penyebab utama terjadinya proses pembelajaran siswa, meskipun tidak semua perbuatan belajar siswa merupakan akibat guru yang mengajar. Oleh sebab itu guru sebagai figur sentral, harus mampu menetapkan strategi pembelajaran yang tepat sehingga dapat mendorong terjadinya perbuatan belajar siswa yang aktif, produktif, dan efisien.
Siswa sebagai peserta didik merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran. Keberhasilan pencapaian tujuan banyak tergantung kepada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan siswa. Cara belajar ini dapat dilakukan dalam bentuk kelompok (klasikal) ataupun perorangan (individual). Oleh karena itu, guru dalam mengajar harus memperhatikan kesiapan, tingkat kematangan, dan cara belajar siswa.
Post A Comment:
0 comments: